I’tikaf Rasulullah SAW

I’tikaf Rasulullah,

Dalil disyariatkannya i’tikaf ialah firman Allah Ta’ala:




125. Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. Asbabun nuzul

[89]. Ialah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka’bah. Dalam suatu riwayat dikemukakan, Umar menerangkan bahwa pendapatnya bersesuaian dengan firman Allah di dalam tiga perkara, yaitu (1) ketika ia mengemukakan usul. “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya tuan jadikan maqam (tempat shalat) Ibrahim ini menjadi tempat shalat.” Makan turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 125) (Sejak itu maqam Ibrahim AS dijadikan tempat berdirinya Imam bagi orang-orang yang shalat di Masjidil Haram dan disunatkan shalat sunah thawaf di tempat tersebut). Dan (2) ketika ia mengusulkan: “Telah berkunjung kepada istri-istri tuan orang baik dan orang jahat. Bagaimana sekiranya tuan memerintahkan agar supaya dipasang hijab (penghalang).” Maka turunlah ayat hijab (S. 33: 53). Dan (3) ketika Rasulullah SAW diboikot oleh istri-istrinya karena cemburu, maka Umar ra berkata kepada mereka: “Mudah-mudahan Tuhan-Nya akan menceraikan kamu, dan menggantikan kamu dengan istri-istri yang lebih baik daipada kamu.” Maka turunlah ayat lainnya (S. 66: 5) yang membenarkan peringatan Umar terhadap istri Nabi.
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya, yang bersumber dari Umar.)
Dalam riwayat lain dikemukakan ketika Rasulullah SAW thawaf, berkatalah Umar kepadanya: “Ini adalah maqam (tempat shalat) bapak kita Ibrahim.” Nabi bersabda: “Benar.” Umar berkata lagi: “Apakah tidak sebaiknya kita jadikan tempat shalat?” Maka Allah SWT menurunkan ayat tersebut di atas (S. 2: 125).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Jabir.)Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Umar bin Khaththab ra lewat di maqam Ibrahim AS bersama Rasulullah SAW, dan ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kita tidak berdiri shalat di tempat shalatnya kekasih Tuhan?” Rasulullah SAW menjawab: “Benar.” Kemudian Umar berkata: “Apakah kita tidak jadikan tempat shalat?” Tiada lama kemudian turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 125) (Menurut dhahirnya, turunnya ayat ini pada hajjatul wada, yaitu haji terakhir bagi Nabi tahun 10 Hijriyyah atau tahun 633 masehi).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari ‘Amr bin Maimun yang bersumber dari Umar bin Khaththab.)

(QS-2-125).

187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Asbabun nuzul

 

[115]. I’tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:

a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat “Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail” (S. 2: 187)
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu’adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu’adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)

b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan, karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia. Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya, Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan suaminya tertidur. Berkatalah ia: “Wahai, celakalah engkau.” (Pada waktu itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.

c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat menahan nafsunya. Maka turunlah ayat ” ‘Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba’alaikum wa’afa ‘ankum sampai akhir ayat.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra.)

d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika ‘umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: “Saya sudah tidur.” ‘Umar berkata: “Kau tidak tidur”, dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka’b berbuat seperti itu. Keesokan harinya ‘umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Ka’b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya.)

e. Kata “minal fajri” dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara ke dua tali itu, Maka turunlah ayat “minal fajri”. Kemudian mereka mengerti bahwa khaithul abydlu minal khaitil aswadi itu tiada lain adalah siang dan malam.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa’id.)

f. Kata “wala tubasyiruhunna wa antum ‘akifuna fil masajid” dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i’tikaf.
(Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.)

(QS-2-187).

Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan.”

Aisyah r.a. istri Nabi mengatakan bahwa Nabi saw. selalu beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.

Aisyah r.a. berkata, “Sungguh Rasulullah memasukkan kepala beliau kepadaku ketika beliau sedang beri’tikaf di masjid, lalu saya menyisirnya. Apabila beliau beri’tikaf, maka beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena ada keperluan.”

Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw. (dalam satu riwayat: dari Ibnu Umar dari Umar ibnul Khaththab bahwa dia 2/259) berkata, “(Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliah dulu, saya bernazar untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Beliau bersabda, “Penuhilah nazarmu.” (Lalu Umar beri’tikaf semalam 2/260).

Aisyah r.a. berkata, “Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari (dalam satu riwayat: setiap 2/259) bulan Ramadhan. Maka, saya buatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu. (Apakah Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri’tikaf? Lalu Nabi memberinya izin, lantas dia membuat kubah di dalamnya. Maka, Hafshah mendengarnya). Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat sebuah tenda pula, maka Aisyah mengizinkannya. Kemudian Hafshah membuat tenda (dalam satu riwayat: kubah). Ketika Zainab binti Jahsy melihat tenda itu, maka ia membuat tenda untuk dirinya. Ketika hari telah subuh, Nabi melihat tenda-tenda itu (dalam satu riwayat: melihat empat buah kubah). Lalu, Nabi bertanya, ‘Tenda-tenda apa ini?’ Maka, diberitahukan orang kepada beliau (mengenai informasi tentang mereka). Lalu, Nabi bersabda, ‘Apakah yang mendorong mereka berbuat begini? Bagaimanakah sebaiknya menurut pikiran kamu mengenai mereka? (Aku tidak melakukan i’tikaf sekarang 2/260).’ Lalu, beliau menghentikan i’tikafnya dalam bulan itu. Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Syawwal.”

Shafiyyah istri Nabi mengatakan bahwa ia datang mengunjungi Rasulullah pada saat beliau i’tikaf di masjid pada sepuluh (malam) yang akhir pada bulan Ramadhan. (Pada waktu itu di sisi beliau ada istri-istri beliau, lalu mereka bubar 2/285). Lalu, ia bercakap-cakap kepada beliau sesaat, kemudian ia berdiri hendak pulang. (Beliau berkata kepada Shafiyyah binti Huyai, “Janganlah tergesa-gesa sehingga aku pulang bersamamu.” Dan rumah Shafiyyah berada di kampung Usamah bin Zaid 4/203). Kemudian Nabi berdiri bersama untuk mengantarkannya pulang. Sehingga, ketika sampai di (sekat 4/45) pintu masjid yang ada di pintu (dalam satu riwayat: tempat tinggal) Ummu Salamah (istri Nabi), lewatlah dua orang laki-laki kalangan Anshar. Lalu, mereka memberi salam kepada Rasulullah (Dalam satu riwayat: lalu mereka memandang kepada Rasulullah, kemudian keduanya berlalu. Dalam riwayat lain: bergegas). Maka, Nabi bersabda kepada keduanya, “Tunggu! (Kemarilah), dia adalah Shafiyyah binti Huyyai.” Kemudian mereka berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Hal itu berat dirasa oleh kedua orang itu, maka Nabi bersabda, “Sesungguhnya setan itu dapat mencapai pada manusia pada apa yang dicapai oleh (dalam satu riwayat: mengalir di dalam tubuh anak Adam pada tempat mengalirnya) darah. Aku khawatir setan itu melemparkan (suatu keburukan, atau beliau bersabda:) sesuatu ke dalam hatimu berdua.” (Aku bertanya kepada Sufyan, “Apakah Shafiyyah datang kepada Nabi pada waktu malam?” Dia menjawab, “Bukankah ia tidak lain kecuali malam hari?” 2/259).
Abu Hurairah r.a. berkata, “Nabi biasa beri’tikaf dalam setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Kemudian setelah datang tahun yang pada tahun itu beliau dicabut ruhnya (yakni wafat), beliau itikaf selama dua puluh hari.”

Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari – M. Nashiruddin Al-Albani
Assalamu'alaikum, Welcome to PutoZone, Toko Online Serba Murah, terima kasih sudah berkunjung di Berilmu.com

Permanent link to this article: https://www.berilmu.com/blog/itikaf-rasulullah-saw/